Indonesiafinance.id, Jakarta-Pemerintah tengah menyiapkan kebijakan bea keluar alias pajak ekspor batu bara yang akan mulai berlaku pada 2026.
Besaran tarifnya belum diumumkan. Kementerian Keuangan menyatakan, penentuan besaran tarif akan mengikuti pergerakan harga serta keekonomian komoditas yang masih menjadi sumber utama devisa negeri ini.
Lembaga riset Transisi Bersih melihat langkah itu sebagai pintu masuk memperkuat penerimaan negara sekaligus menata ulang pasar batu bara. Mereka mendorong pemerintah tidak menetapkan tarif minimalis yang hanya bersifat kosmetik.
Direktur Eksekutif Transisi Bersih, Abdurrahman Arum, mengatakan tarif awal ideal berada pada kisaran 5–11 persen dari nilai ekspor. Dengan rentang itu, tambahan pemasukan negara bisa mencapai Rp30–50 triliun pada tahun pertama kebijakan berjalan, tergantung harga acuan perdagangan internasional.
“Dengan tarif ekspor 5–11 persen, potensi penerimaan negara bisa sampai Rp50 triliun. Itu cukup berarti bagi fiskal negara tanpa membebani industri secara berlebihan,” ujar Arum saat dihubungi, Senin, 3 November 2025.
Usulan serupa sejatinya sudah tercatat dalam Laporan Panitia Kerja Penerimaan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2024–2025 DPR RI yang dirilis 7 Juli 2025. Parlemen meminta pemerintah memperluas basis penerimaan melalui pengenaan bea keluar untuk emas dan batu bara.
Transisi Bersih menilai pajak ekspor ini dapat ditingkatkan secara bertahap hingga level ideal 30 persen. Pada titik itu, kebijakan ini dapat menggantikan kewajiban pemenuhan pasar domestik (domestic market obligation/DMO), yang selama ini mematok harga batu bara dalam negeri maksimal US$70 per ton.
“Jika tarif ekspor 30 persen dan harga internasional rata-rata US$100 per ton, eksportir tetap memperoleh US$70 per ton secara bersih. Sama persis dengan harga yang selama ini dipatok lewat DMO. Berarti mekanisme pasar sendiri yang akan menjaga harga domestik tetap terjangkau—tanpa intervensi kebijakan DMO,” tutur Arum.
Menurut dia, efek ganda akan tercipta: pendapatan negara meningkat dan selisih harga ekspor–domestik akan menggerakkan suplai menuju dalam negeri secara lebih natural. Indonesia tetap aman memenuhi kebutuhan listrik dan industri nasional, sementara negara tak kehilangan peluang pendapatan dari kenaikan harga pasar global.
“Pada akhirnya Indonesia tidak lagi memerlukan DMO. Tarif ekspor yang memadai akan menyeimbangkan pasar, membuat harga domestik terjaga, dan negara mendapat pemasukan tambahan. Sekali dayung, dua pulau terlampaui,” kata Arum.
Source: https://www.indonesiafinance.id/transisi-bersih-dukung-rencana-pajak-ekspor-batu-bara/

