Industrialisasi menjadi kesempatan Indonesia mempercepat transisi energi. Sehingga, pertumbuhan ekonomi tetap berkontribusi pada aksi iklim sekaligus mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional. Profesor Ekonomi SOAS University of London Ha-Joon Chang menambahkan, kebijakan industrialisasi menciptakan lapangan kerja formal berbasis manufaktur, yang dapat menjadi kunci bagi Indonesia untuk menghadapi tiga masalah global yakni kerentanan ekonomi, krisis iklim, dan dinamika geopolitik.
Hal ini disampaikannya dalam kuliah umum bertajuk “Climate Crisis, Geopolitical Realignment, And Structural Transformation In Developing Asia,” di Universitas Indonesia Kampus Salemba, Jakarta (28/10). Kuliah umum yang diselenggarakan Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat UI dan Asia Research Centre UI ini dihadiri beberapa lembaga pemerintah dan riset, seperti Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi, CSIS, the PRAKARSA, INDEF, dan lainnya. Sesi diskusi ini dipandu oleh Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional dan Utusan Khusus Presiden Bidang Perdagangan Internasional dan Kerja Sama Multilateral, Mari Elka Pangestu. Chang mengatakan, dinamika iklim dan geopolitik global dapat menjadi tantangan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memerlukan ketahanan ekonomi.
Namun, tantangan ini dapat dimanfaatkan sebagai peluang perkembangan ekonomi hijau atau green window of opportunity. “Negara-negara maju memang punya keunggulan komparatif dibandingkan negara berkembang. Namun, selisih keunggulan ini tipis. Negara berkembang mampu mengejar bahkan melangkahi negara dengan industri mapan,” ujar Chang.
Dia mencontohkan bagaimana pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan bayu (PLTB) kini mulai menandingi energi fosil sebagai sumber energi termurah di dunia. Tiga puluh tahun perkembangan energi terbarukan ini adalah hasil dari penelitian dan kapasitas manufaktur yang massif, terutama dari Tiongkok. Melansir International Renewable Energy Agency, biaya 91 persen proyek energi terbarukan global, terutama PLTS dan PLTB, yang terpasang pada tahun 2024 lebih kompetitif dibandingkan pembangkit tenaga fosil.
Perhitungan Masyarakat Konservasi dan Efisiensi Energi Indonesia menunjukkan harga listrik PLTS mulai menyaingi PLTU, dengan harga listrik PLTS sebesar US$ 4 sen per kilowatt per jam (kWh), dan bisa mencapai US$ 8 sen per kWh jika dilengkapi fasilitas penyimpanan. Sementara, harga listrik dari PLTU saat ini berkisar US$ 4 sen hingga US$ 6 sen per kWh. “Energi bersih terbarukan sudah hadir, bukan sesuatu yang masih kita tunggu,” kata ekonom yang juga Co-Director Centre for Sustainable Structural Transformation tersebut. Chang melanjutkan, industrialisasi juga penting karena dapat menghadirkan lapangan kerja formal yang baik serta meningkatkan taraf kehidupan.
Hal ini penting mengingat terus meningkatnya standar pendidikan untuk bekerja. “Indonesia terus menghasilkan orang terdidik, tapi mereka menjadi pekerja ojol atau pengantar paket. Ini resep untuk masalah sosial,” kata Chang tegas.
Beralih Dari Ketergantungan Sumber Daya Alam
Chang juga menekankan industrialisasi bermanfaat pada perkembangan inovasi dan dan membuka kesempatan untuk diversifikasi ekonomi. Hal ini dapat membantu Indonesia yang ekonominya masih bergantung pada ekspor komoditas yang tidak diolah. “Ekonomi yang terdiversifikasi memberikan fleksibilitas bagi negara untuk tidak bergantung pada satu-dua mitra dagang saja,” katanya menerangkan. Negara bisa mendorong pertumbuhan lewat sumber daya alam, tapi harus menaiki rantai nilai produksi untuk mendapatkan nilai tambah ekonomi yang lebih baik.
Menurutnya ketergantungan Indonesia pada komoditas disebabkan oleh anjloknya kontribusi sektor manufaktur dalam ekonomi meski pendapatan masyarakat belum meningkat, atau deindustrialisasi dini. Sektor manufaktur Indonesia sempat berkontribusi 32 persen dari PDB pada 2002, sebelum menyusut menjadi 19 persen pada 2024. Sementara, hasil pertambangan dan minyak kelapa sawit masih menjadi ujung tombak ekspor Indonesia pada 2024. Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal awal tahun ini mencatat, bahan bakar mineral (HS27) dan lemak dan minyak nabati (HS15) masing-masing berkontribusi 15,94 persen dan 10,78 persen dari total nilai ekspor US$264,70 miliar.
Adapun besi dan baja (HS72) berada di posisi ketiga dengan kontribusi 10,37 persen. Chang menekankan deindustrialisasi bisa dihindari meski kelak masyarakat berpendapatan tinggi, karena Korea Selatan mampu mempertahankan sektor manufakturnya di kisaran 24-28 persen sejak 1988 hingga sekarang.
Source: https://katadata.co.id/ekonomi-hijau/investasi-hijau/6901c79d9d440/profesor-soas-london-industrialisasi-dapat-dongkrak-aksi-iklim-ekonomi

